Minggu, 27 September 2015

MARAKNYA MAKANAN EXPIRED DI KALANGAN MASYARAKAT


TUGAS FINAL
MARAKNYA MAKANAN EXPIRED DI KALANGAN MASYARAKAT


Andi Yuliana
10800113053
Akuntansi 3

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2014/2015


KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis ucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “Maraknya Makanan Expired di Kalangan Masyarakat”.
Di dalam pembuatan makalah ini, penulis berusaha menguraikan dan menjelaskan tentang perlindungan terhadap konsumen khususnya pada makanan expired yang masih marak di kalangan masyarakat.
Ucapan terima kasih penulis kepada berbgai pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini. 
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini tentang maraknya makanan expired di kalangan masyarakat, ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.








Samata,   Januari 2015



Penyusun


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………… 1
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. 3
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ……………………………………………………………... 4
B.     Rumusan Masalah ………………………………………………………….. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian Konsumen ……………………………………………………… 6
B.     Pengertian Kadaluwarsa …………………………………………………… 6
C.     Bahaya makanan expired (kadaluwarsa) …………………………………... 6
D.    Perbuatan yang dilarang bagi pelaku konsumen …………………………... 7
E.     Asas dan tujuan perlindungan konsumen ………………………………….. 7
BAB III PEMBAHASAN
A.    Analisis kasus ……………………………………………………………… 9
B.     Peyelesaian kasus ………………………………………………………….. 11
BAB IV PENUTUP
A.    Kesimpulan ………………………………………………………………... 14
B.     Saran ………………………………………………………………………. 14
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 16








BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pembangunan nasional dibidang ekonomi salah satunya adalah mengembangkan Sistem Ekonomi Kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan Pertumbuhan Ekonomi, Nilai-Nilai Keadilan, Kepentingan Sosial, Kualitas Hidup, Pembangunan Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan, sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat. Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat jelas Pemerintah telah menetapkan bahwa prinsip persaingan sehat dan perlindungan terhadap hak-hak konsumen adalah merupakan bagian dari pembangunan nasional dibidang ekonomi. Arah kebijakan pernbangunan nasional yang demikian itu tidak terlepas dari kondisi obyektif yang ada bahwa masih ada praktek-praktek bisnis, terutama dibidang produksi makanan yang tidak bertanggung jawab terhadap produk yang telah difungsikan kepada pihak lain.
Untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kankembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab. Untuk melindungi konsumen dari kecurangan-kecurangan pelaku usaha maka di bentuklan UU No 18 tahun 1999. Terbentuknya ketentuan hukum tersebut. ditujukan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat.
Perlindungan konsumen adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan di anak tirikan oleh para produsen.
Dalam beberapa kasus yang terjadi di sekeliling kita banyak di temuka pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen dalam tingkatan yang di anggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen. Contohnya: makanan kadaluarsa yang sekarang ini banyak beredar di beberapa super market. Pada dasarnya mengonsumsi makanan yang sudah kadaluarsa sangatlah berbahaya karena berpotensi di tumbuhi jamur dan bakteri yang akhirnya dapat mengakibatkan kangker maupun keracunan.
Dari contoh tersebut dapat kita ketahui bahwa konsumen merupakan pihak yang palin dirugikan. Selain konsumen harus membayar dalam jumlah atau harga yang boleh dikatakan semakin lama semakin mahal, konsumen juga harus menanggung resiko besar yang membahayakan kesehatan dan jiwanya, hal yang memprihatikan adalah peningkatan harga yang terus terjadi tidak dilandasi dengan peningkatan kualitas atau mutu produk. Hal-hal tersebut mungkin disebabkan karena kurangnya pengawasan dari pemerintah serta badan-badan hukum. Eksistensi konsumen tidak sepenuhnya dihargai karena satu tujuan utama dari penjual adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam jangka pendek bukan untuk jangka panjang. Oleh karena itu, saya menyusun makalah ini yang berisi tentang perlindungan konsumen. Dalam makalah ini saya akan menjelaskan lebih lanjut serta membuat solusi yang mungkin akan berguna bagi pembaca dimasa yang akan datang.

B.     Rumusan Maslah
Dari uraian latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu, bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dari makanan kadaluwarsa (expired) ?









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.    Pengertian Konsumen
Menurut Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :
Pasal 1 butir 2 :
            “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yeng tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

B.     Pengertian kadaluwarsa
            Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 180/Men.Kes/Per/IV/1985, pengertian tanggal kadaluarsa adalah batas akhir suatu makanan dijamin mutunya sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk produsen.


C.    Bahaya Makanan Expired (kadaluarsa)
Bahaya makanan kadaluarsa bisa mengakibatkan kematian, jika tidak segera tertangani. Oleh karena itu, lebih baik mencegah secara dini agar tidak kena dampak makanan tidak sehat atau kadaluarsa. Selain pengawasan dari pemerintah, masyarakat juga perlu lebih teliti dalam membeli. Apalagi saat bulan puasa hingga hari raya, toko-toko memberikan harga murah untuk produk makanan yang tanggal kadaluarsa sudah mendekati jatuh tempo. Tanpa bermaksud meracuni konsumen, produk makanan yang dijual tetap rawan kerusakan karena telah lama berada di toko, sehingga perlu diwaspadai.
Setiap produsen biasanya memberikan informasi tanggal produksi dan masa kadaluarsanya di setiap label produk makanan yang diedarkan di pasaran. Infromasi tersebut memang sudah ketentuan agar konsumen dapat mengkonsumsi produk makanan pada saat yang tepat.

D.    Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Konsumen
Untuk melindungi konsumen agar tidak di rugikan dari segi mutu barang, maka dapat di tempuh dengan berbagai cara :
a.       Standar Mutu
b.      HaKI/Merek
c.       Daluwarsa
d.      Kehalalan
e.       Pengawasan produk impor

E.     Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas Perlindungan Konsumen :
“Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Perlindungan konsumen di selenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan daam pembangunan nasional yaitu :
a.       Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b.      Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c.       Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
d.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen.
e.       Asas kepastian hokum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hokum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.

Sedangkan Pasal 3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan Konsumen :
Perlindungan Konsumen bertujuan :
a.       Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa;
c.       Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut  hak-haknya sebagai konsumen;
d.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastia hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.       Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f.       Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.









BAB III
PEMBAHASAN
A.    Analisis Kasus
            Konsumen seringkali dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak adanya perlindungan konsumen atau jamian terhadap konsumen.
            Sebenarnya penyelesaian sengketa diluar pengadilan baru diketahui melalui Pasal 47, sedangkan Pasal 45 justru menyebut lembaga khusus sebagai penyelesaian diluar pengadilan. Dalam Pasal 47: Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

            Dalam penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat unluk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Mengenai sanksi pidana dalam Undang-undang ini dapat dilihat dalam Pasal 62 mengenai pelaku usaha dan/atau pengurus yang melakukan tindak pidana, dengan pidana denda paling banyak sebesar 500 juta rupiah dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun serta sanksi administratif berupa ganti rugi paling banyak 200 juta rupiah.
            Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 63, berupa: perampasan barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha. Untuk itu perlu diterapkan sanksi hukum pidana dan administrasi kepada mereka yang sengaja mengedarkan dan menjual produk makanan bermasalah.
Sebagai penyelesaian perdamaian, maka tetap terbuka kemungkinan untuk menuntut pelaku usah secara pidana. Maka dengan mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sehubungan penyelesaian sengketa konsumen ini, cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan itu dapat berupa arbitrase, konsiliasi, dan mediasi.
a.       Arbitrase
            Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar         peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa, sudah sejak lama dikenal di Indonesia. Ketidakterikatan para pihak terhadap pendapat yang diajukan oleh konsiliator mengenai sengketa yang dihadapi oleh para pihak tersebut, menyebabkan penyelesaiannya sangat tergantung pada kesukarelaan para pihak.

b.      Mediasi
            Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan, disamping sudah dikenal dalam perundang- undangan di Indonesia, juga merupakan salah satu pilihan terbaik di antara sistem dan bentuk ADR yang ada. Penyelesaian sengketa melalui mediasi harus didahului dengan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui mediasi. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang fleksibel dan tidak mengikat serta melibatkan pihak netral, yaitu mediator, yang memudahkan negosiasi antara para pihak/membantu mereka dalam mencapai kompromi/kesepakatan.


c.       Konsiliasi
            Konsiliasi merupakan salah satu alternative penyelesaian sengketa yang juga dapat ditempuh diluar pengadilan, yang diartikan sebagai: an independent person (conciliator) brings the parties together and encourages a mutually acceptable resolution of the dispute by facilitating communication between the parties. Konsiliasi ini juga di mungkinkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen.
            Dalam menyelesaikan permasalahan antara pelaku usaha dengan konsumen, disarankan untuk menempuh jalur-jalur yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu melalui jalur pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa tersebut dilakukan melalui tahapan- tahapan sebagai berikut:
a.                   Diupayakan penyelesaiannya melalui proses mediasi.
b.                  Jika mediasi gagal, penyelesaiannya ditingkatkan menjadi konsiliasi.
c.                   Jika konsiliasi gagal, penyelesaian ditingkatkan menjadi arbitrase.
            Sekecil apapun sanksi yang diberikan tetap penting ditegakkan agar masyarakat lebih aman dan nyaman menjalani puasa dan lebaran. Intinya, perlu adanya pengawasan pangan terhadap pangan kedaluarsa, pangan ilegal, label, pangan rusak, dan lain-lain termasuk pengawasan penggunaan bahan berbahaya dalam pangan. BPOM dalam hal ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat serta pengawasan yang berkelanjutan kedepannya.
B.     Penyelesaian Kasus
Penyelesaian sengketa melalui koneksitas mediasi, konsiliasi, arbitrase tersebut walaupun melalui tiga tahapan, namun tidak memakan waktu lama, karena di setiap tahapan dapat tercapai suatu putusan yang final. Untuk menghemat waktu dan biaya, disarankan untuk menyelesaikan sengketa melelui jalur di luar pengadilan. Di samping itu pemerintah harus lebih memperkuat dan lebih mengaktifkan lagi lembaga BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan)  yang mengawasi mengenai kelayakan suatu makanan. Perluh adanya suatu pemeriksaan oleh lembaga BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) di setiap-setiap tempat penjual untuk mengatasi makanan yang sudah expired.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada Bidang Kesehatan - sub bidang Obat dan Perbekalan Kesehatan, mengamanatkan bahwa pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga merupakan urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Tanggung jawab ini tentunya dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin, tanpa mengorbankan salah satu pihak (pihak konsumen dan pelaku usaha).
Untuk mengatasi maraknya peredaran makanan yang kadaluarsa, berformalin dan berkemasan rusak, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 111 ayat (1) menyatakan bahwa makanan dan minuman yang digunakan masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Terkait hal tersebut di atas, Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk itu penulis berharap semoga BPOM dapat melakukan penertiban terhadap produk makanan yang ditenggarai bermasalah dan berpotensi menimbulkan  korban jiwa.
Pentingnya optimalisasi peran bersama antara Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dengan berbagai lembaga terkait untuk melakukan pengawasan terhadap produk makanan kadaluarsa. Lembaga terkait ini mempuyai peran yang strategis dalam penanggulangan makanan dan obat-obatan yang kadaluarsa misalnya dilibatkannya lembaga Kepolisian  dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang tersebar Kabupaten/Kota  Provinsi guna untuk melakukan penyitaan dan pencabutan izin usaha apabila ketentuan keamanan mengenai pengan dilanggar. Operasi pasar secara sebagai salah satu upaya untuk meminimalisir penyimpangan dan tindak pidana yang dilakukan dalam perdagangan. Upaya ini tentu sangat berpengaruh terhadap intensitas peredaran produk makanan yang bermasalah.
BPOM harus senantiasa mengembangkan pemantauan dan pengawasan terhadap makanan dan obat-obatan yang beredar luas di masyarakat. Pencegahan sejak dini harus dilakukan agar tidak ada korban. Program-program BPOM juga harus berintegrasi agar hasilnya juga maksimal. Sebagai lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan obat dan makanan BPOM diharapkan memiliki kebijakan strategis dan tindakan kongkrit yang langsung menyentuh ke masyarakat.















BAB IV
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dalam menyelesaikan permasalahan mengenai maraknya makanan expired telah di atur dalam Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu melalui jalur pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa tersebut dilakukan melalui tahapan- tahapan sebagai berikut:
a.       Diupayakan penyelesaiannya melalui proses mediasi.
b.      Jika mediasi gagal, penyelesaiannya ditingkatkan menjadi konsiliasi.
c.       Jika konsiliasi gagal, penyelesaian ditingkatkan menjadi arbitrase.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada Bidang Kesehatan - sub bidang Obat dan Perbekalan Kesehatan. Oleh karena itu lembaga pemerintah yaitu BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) berperang penting dalam hal ini.


B.     Saran
Disarankan agar ketentuan perundang- undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen agar tetap dijalankan secara menyeluruh dan komprehensif agar supaya apa yang menjadi cita-cita untuk dapat melindungi konsumen dapat terwujud. sebagaimana pula agar pelaku usaha juga dapat berkembang sesuai dengan era globalisasi saat ini, sehingga konsumen dan pelaku usaha mematuhi hak dan kewajiban, pelaku usaha tidak melakukan perbuatan yang dilarang, dan mematuhi aturan yang berkaitan dengan klausula baku, dan bertanggung jawab atas segala kegiatan usahanya.
Pemerintah harus lebih mengefektifkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada Bidang Kesehatan - sub bidang Obat dan Perbekalan Kesehatan, mengamanatkan bahwa pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga merupakan urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
























DAFTAR PUSTAKA

Sidabalok Janus, SH. M.Hum, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung. Citra Aditya Bakti.
Muri Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta. Rajawali Pers.
Widjaja Gunawan. 2005. Seri Hukum Bisnis : Daluarsa. Jakarta. Rajawali Pers.
Kansil Christine. 2008. Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika.
Syamsuddin Rahmat @slide










Tidak ada komentar:

Posting Komentar